Selasa, 15 September 2009

[Google Fast Flip] Post 9/11, Americans say Muslims face most discrimination

Sent to you by milisfkmsb via Google Fast Flip:

try



Post 9/11, Americans say Muslims face most discrimination

But many also see Islam as a violent religion, according to a Pew Forum survey. By Jina Moore | Correspondent of The Christian Science Monitor New York - Eight years after the terrorist attacks in New York City and Washington, Americans believe that Muslims Christian Science Monitor - Living Post 9/11, Americans say Muslims face most discrimination...

Read full story

Minggu, 13 September 2009

Demonologi Terorisme dan Simbol Keislaman

Akhir-akhir ini, perburuan aparat kepolisian terhadap tersangka teroris makin mengerucut pada orang-orang yang menggunakan simbol-simbol keislaman. Muncul kesan bahwa mereka yang berjubah, atau bercadar, memakai sorban, bercelana panjang (di atas pergelangan kaki), dahi hitam, dan berjenggot patut dicurigai bagian kelompok teroris. Ini ditambah lagi dengan keinginan polisi untuk mengawasi aktivitas para da'i dalam berdakwah.

Beberapa waktu sebelumnya polisi sempat menahan sekelompok orang asal Filipina karena dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok teroris. Kecurigaan polisi itu muncul karena kebetulan mereka memakai simbol-simbol keislaman seperti yang saya sebutkan..

Fenomena ini, yang terus-menerus mendapat sorotan media massa, secara tidak langsung telah menciptakan konotasi negatif terhadap simbol-simbol Islam di masyarakat. Akibatnya, masyarakat dihantui rasa curiga, was-was, bahkan perasaan takut terhadap mereka yang memakai simbol-simbol keislaman.

Sekadar bukti, Minggu (23/8), Kompas memberitakan pasangan suami-istri Daud dan Kasitri diinterogasi habis-habisan oleh sejumlah warga, usai keduanya bersembahyang di sebuah masjid di daerah Kecamatan Kibin, Serang, Banten. Pasalnya, warga curiga kedua orang tersebut adalah teroris hanya gara-gara berjenggot dan bercadar. Ini hanya contoh kecil akibat bias informasi yang salah ditangkap masyarakat.

Di sisi lain, fenomena ini juga membawa dampak psikologis terhadap umat Islam yang sudah terbiasa menggunakan simbol-simbol agama. Mereka tentu akan merasa rikuh, tidak nyaman, tidak bebas bergerak, karena merasa selalu diawasi bahkan dicurigai polisi dan masyarakat..

Proses inilah yang saya sebut telah terjadi demonologi terorisme yang mengarah pada simbol-simbol keislaman bahkan agama Islam itu sendiri.


Demonologi

Istilah demonologi (demonology) berasal dari kata demon, berarti setan, dan kata logos. Dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary, istilah demonologi diartikan sebagai: the study of demons or evil spirits (studi tentang setan atau semangat kejahatan) dan a doctrine of evil spirits (doktrin tentang semangat kejahatan). Istilah ini kemudian dimaknai secara kontekstual oleh Noam Chomsky dalam karyanya Pirates and Emperor: International Terrorism in the Real World.

Chomsky memaknai demonologi sebagai perekayaan sistematis untuk mendapatkan sesuatu agar ia dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan. Targetnya adalah, individu atau kelompok yang menjadi sasaran demonologi itu dimusuhi dan bahkan diperangi.

Chomsky menggunakan istilah ini ketika membahas kasus Libya di bawah Muammar Qaddafi. Menurut Chomsky, Libya berada dalam demonologi Amerika Serikat. Chomsky menggambarkan bagaimana AS dengan dukungan media internasional yang dikendalikannya berhasil menggiring opini dunia untuk memandang Libya dan Qaddafi sebagai "sponsor terorisme internasional." Taktik serupa dilakukan AS terhadap Irak di bawah Saddam Hussein.

Jadi, demonologi dimaksudkan sebagai upaya sistematis untuk menggambarkan sesuatu sebagai hal menakutkan, laiknya setan, sehingga harus dicurigai, diawasi, dimusuhi, dijauhi, dan bahkan dibasmi dengan dukungan media massa. Fenomena seperti itu pula yang tampak dalam usaha polisi memburu kelompok teroris di Indonesia.


Overgeneralisasi

Kita semua setuju bahwa teroris dengan segala aksinya yang mengancam kehidupan manusia pantas disebut demon. Maka melancarkan demonologi terorisme itu sangat tepat. Tetapi persoalannya, yang tampak dalam pemberitaan media, perburuan teroris mulai bergeser pada orang-orang yang menggunakan atribut keislaman. Sehingga terjadilah overgeneralisasi demonologi terorisme menjurus pada demonologi simbol-simbol keislaman.

Proses demonologi itu berlangsung melalui penyerupaan identitas para pelaku aksi terorisme dengan orang-orang yang biasa menggunakan simbol-simbol keislaman dalam keberagamaannya. Demonologi ini seolah dibangun dalam logika berpikir dengan premis-premis: semua teroris menggunakan simbol-simbol keislaman (premis mayor), kelompok X menggunakan simbol-simbol keislaman (premis minor), jadi X adalah bagian kelompok teroris. Di sini terjadi overgeneralisai, logika sebagian mewakili semuanya. Yakni menganggap semua muslim memiliki tipikal berpikir dan perilaku sama.

Akibat logika yang salah ini, masyarakat dibuat was-was, curiga, dan takut setiap kali melihat orang-orang dengan atribut keislaman. Simbol-simbol agama itu, yang oleh pemakainya dianggap sakral, dalam pandangan masyarakat awam kemudian berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Simbol-simbol yang oleh penggunanya berfungsi sebagai syiar kedamaian dan dakwah lalu dipersepsi sebagai ancaman dan biang kekerasan.

Adapun korban stereotipe negatif ini akan merasa terkekang kebebasannya, merasa selalu diawasi gerak-geriknya, dan dimata-matai tingkah-lakunya. Mereka rentan dilabeli dengan hal-hal negatif dan bahkan diperlakukan diskriminatif di tengah masyarakat.

Terkait persoalan ini muncul wacana yang menginginkan kelompok yang terbiasa memakai atribut keislaman untuk "sementara waktu" menanggalkannya. Alasannya adalah untuk membedakan mereka dengan kelompok teroris, dan untuk memudahkan proses penyelidikan aparat.

Hemat saya, wacana ini tidak menyelesaikan masalah. Malah berpotensi memunculkan masalah baru.. Karena bagi sebagian orang, atribut keagamaan adalah bagian penting dari beragama itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa mereka beragama hanya sebatas simbol, tidak!

Akan tetapi, mereka berkeyakinan bahwa simbol-simbol agama tersebut adalah bagian kesempurnaan dan kelengkapan dalam beragama. Sehingga mereka merasa kurang afdal, kurang kaffah, jika beragama tanpa disertai atribut. Karena itu, meminta mereka melepaskan simbol-simbol keagamaan, meskipun hanya sementara, sama saja dengan menyuruh mereka mengurangi kadar keagamaannya.

Kalau proses ini terus dibiarkan, demonologi yang salah kaprah ini tidak saja melahirkan misinterpretasi terhadap simbol-simbol keislamanan dan mengganggu kebebasan ekspresi keagamaan seseorang. Lebih dari itu, demonologi akan melahirkan disparitas sosial baru antara orang-orang yang selama ini memegang teguh simbol-simbol keislaman dengan masyarakat lainnya. Pada akhirnya akan terjadi marjinalisasi kelompok tertentu dan lambat laun masing-masing kelompok berpotensi eksklusif. Dalam situasi seperti itulah justru konflik sosial rawan terjadi. Dan benih-benih terorisme mudah menyusup.

Untuk itu, aparat keamanan dan juga media massa harus menghentikan upaya demonologi terorisme yang mengarah pada simbol-simbol keislaman. Aparat harus selektif dalam mendeteksi setiap gerakan teroris agar tidak terjebak overgeneralisasi terhadap semua kelompok keislaman.**